Entri Populer

Minggu, 21 Agustus 2011

Biaya Jasa Pengacara Untuk Perkara Perceraian

Sesungguhnya pengacara tidak boleh mengiklankan dirinya di suatu media massa, baik di koran, majalah, tv, internet dan sejenisnya. Hal tersebut melanggar kode etik profesionalisme kepengacaraan. Namun dalam blog  ini perlu dikemukakan biaya pasaran penggunaan jasa pengacara untuk perkara perceraian. Dianggap perlu diinformasikan berapa biaya pengacara perceraian karena pada umumnya orang yg menghadapi perkara perceraian ingin menggunakan jasa pengacara namun sering terkendala akan tingginya biaya jasa pengacara.
Jasa pengacara relatif lumayan mahal bagi orang yg berbudget minim karena jasa pengacara bisa 10 kali lipat lebih dari biaya pendaftaran perkara gugatan di pengadilan. Kenapa biaya jasa pengacara mahal? Karena mereka adalah pakar dalam bidangnya dan umumnya bekerja secara kelompok (team).
Berikut pasaran biaya jasa pengacara untuk menangani perkara perceraian:
  • Pasaran biaya jasa pengacara yg dianggap murah = Rp 6 jt
Bagi pengacara yg mematok tarif jasa kisaran harga 6 jt, maka harga tersebut tergolong murah, namun umumnya harga tersebut akan terbatas pada ruang lingkup pekerjaannya. Umumnya harga Rp 6 jt murni hanya untuk biaya jasa pengacaranya saja, belum termasuk biaya pendaftaran gugatan dan biaya-biaya lain yg dikenakan di pengadilan.
  • Pasaran biaya jasa pengacara "midle/menengah" = Rp 8-10jt
Jasa pengacara kisaran harga tersebut cukup lumayan, tergantung dari tingkat kesulitan perkaranya. Jikalau banyak penuntutan/permintaan dalam perkaranya (perkara tergolong rumit) maka harga tersebut tergolong wajar.
  • Pasaran biaya jasa pengacara di atas Rp 15jt
Biaya jasa diatas Rp 15jt umumnya syarat dengan unsur kesulitan perkara yg tinggi, seperti: salah satu pihak tidak mau bercerai+perebutan hak asuh anak+pembuktian zinah/perselingkuhan+perebutan harta gono-gini+pembuktian kepemilikan harta+kesepakatan diluar pengadilan+perjanjian diluar pengadilan, dllnya
Biaya-biaya tersebut di atas merupakan harga patokan saja, karena tentunya setiap kantor pengacara mempunyai standard tarif yg berbeda-beda. Bahkan terkadang penggunaan jasa pengacara di zaman sekarang sudah seperti membeli baju ber-merk.
Selain itu, perlu diketahui dan dimengerti bahwa suatu jasa pengacara umumnya ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
  • Biaya gaji para pegawainya
  • Biaya operasional kantornya (sewa kantor, kertas, tinta, printer, listrik, pulsa, dll)
  • Biaya transport. Jika pengadilan yg memproses perkara cerai jaraknya jauh dari kantor si pengacara maka tentu pengaruh terhadap biaya tranportasinya, mengingat si pengacara akan sering bolak-balik sampai 10 kali sidang ke pengadilan...lumayan kan biaya bensinnya?
  • Waktu & tenaga si pengacara. Pergi bersidang tentunya memakan waktu berjam-jam, bahkan umumnya disaat ia pergi bersidang waktunya akan habis 1 hari penuh hanya untuk kepengurusan 1 sidang perkara cerai. Selain itu perlu diingat bahwa 1 perkara cerai umumnya dilalui 8-10 kali tahapan sidang. Dan 1 proses perkara cerai umunya selesai dalam waktu 4-5 bulan. Jadi dapat dibayangkan terhadap jasa pengacara yg Rp 15jt itu diperuntukkan untuk pengerjaan 4-5 bulan.  Dibutuhkan rencana dan ketelitian yg tinggi dalam menghadapi suatu perkara perceraian.
  • Ilmu. Para pengacara adalah para profesional murni yg (seharusnya) handal dan pakar pada bidangnya tersebut. Oleh sebab itu jika suatu perkara cerai ditangani oleh pengacara maka selayaknya-lah si pengacara memberikan servis dan strategy perkara yg terbaik bagi klien-nya. Suatu ilmu tentu tidak dapat dihargai dengan apapun apalagi dengan uang, ilmu merupakan bekal dan modal yg dicapai oleh seseorang yg mana bekal dan modal tersebut dapat dipergunakan untuk menghidupi kehidupannya...itulah seorang profesional
Adapun saran saya untuk menyewa (meng-hire) pengacara, yg utama dan terpenting adalah carilah pengacara yg spesialis pada satu bidang hukum.
Dalam masalah perceraian maka carilah pengacara yg menguasai hukum keluarga atau perceraian.

Alamat Pengadilan Agama & Pengadilan Negeri

I. Pengadilan Agama

  1. Alamat Pengadilan Agama Jakarta Pusat = Jl. K.H. Mas Mansyur, Gg. H. Awaludin II/2, Tanah Abang, Jak-Pus.
  2. Alamat Pengadilan Agama Jakarta Selatan = Jl. Harsono RM No. 1, Ragunan, Pasar Minggu, Jak-Sel (Samping Gedung Pertanian arah Kebun Binatang).
  3. Alamat Pengadilan Agama Jakarta Timur = Jl. Raya PKP, No. 24, Kelapa Dua Wetan, Ciracas,Jak-Tim.
  4. Alamat Pengadilan Agama Jakarta Utara = Jl. Plumpang Semper, No. 3, Tanjung Priok, Jak-Ut
  5. Alamat Pengadilan Agama Jakarta Barat = Jl. Flamboyan II, No. 2, Cengkareng, Kalideres, Jak-Bar.
  6. Alamat Pengadilan Agama Depok = Jl. Bahagia Raya No. 11 , Kota Kembang Depok.
  7. Alamat Pengadilan Agama Bekasi = Jl. Jend. Ahmad Yani, No. 10, Bekasi.

 

II. Pengadilan Negeri

  1. Alamat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat = Jl. Gajah Mada No. 17, Jak-Pus (dekat Gajah Mada Plaza).
  2. Alamat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan = Jl. Ampera Raya No. 133, Ragunan, Jak-Pus.
  3. Alamat Pengadilan Negeri Jakarta Timur = Jl. Jend. A. Yani No. 1, Pulo Mas, Jak-Tim.
  4. Alamat Pengadilan Negeri Jakarta Utara = Jl. Laks. R.E. Martadinata No. 4, Ancol, Jak-Ut.
  5. Alamat Pengadilan Negeri Jakarta Barat = Jl. Let.Jend S. Parman No. 71, Slipi, Jak-Bar.
  6. Alamat Pengadilan Negeri Bekasi = Jl. Pramuka No. 81, Bekasi.
  7. Alamat Pengadilan Negeri Depok = Jl. Bahagia Raya No 11, Depok.

Pemisahan harta dalam perkawinan

Salah satu masalah hukum yang sering dihadapi oleh para isteri yang sedang menempuh proses perceraian atau sudah bercerai dengan suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama atau yang biasa juga disebut harta gono-gini. Jika Anda salah satu dari sekian banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam putusan pembagian harta bersama, Anda dapat mengetahui upaya apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk mengupayakan pembagian harta yang lebih adil Untuk menjaga agar persoalan itu tidak muncul, beberapa informasi berikut diharapkan dapat bermanfaat.


1. Harta Benda dalam Perkawinan

Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta bawaan dan harta perolehan.

a. Harta Bersama (psl 36 ayat (1) UUP No 1/1974).

Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak

Bila terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).

Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama yang diperoleh suami-istri selama dalam perkawinan. Karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, dikarenakan dominasi dan stereotipe bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari istri. Yang berarti akan mengecilkan hak istri atas harta bersama. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa pasangan suami istri memilih melakukan pemisahan harta dalam perkawinan (lihat poin 2 tentang Pemisahan Kekayaan).

b. Harta Bawaan (psl 36 ayat ( 2) UUP)

Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Untuk itu penyimpanan surat-surat berharga sangat penting disini.

c. Harta Perolehan

Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian.


2. Pemisahan Kekayaan (pasal 29 (1) UUP)

Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, dapat dilakukan Pemisahan Kekayaan yang dituangkan dalam Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama.
Kompilasi Hukum Islampun sangat memungkinkan untuk dilakukan pemisahan kekayaan dalam Perjanjian Perkawinan (Lihat pasal 45 Kompilasi Hukum Islam).


3. Apakah Isi Perjanjian Perkawinan?

Pasal 29 UU Perkawinan No 1 tahun 1974, tidak menyebut secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Hal ini berarti semua hal asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut termasuk tentang harta sebelum, dan sesudah kawin atau setelah bercerai.

Perjanjian perkawinan dalam KHI dapat meliputi pencampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama (pasal 47 ayat (2) dan (3) KHI)

Apabila dibuat sebuah perjanjian perkawinan tentang pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian itu tak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga (pasal 48 Kompilasi Hukum Islam)


4. Sahnya Perjanjian

Pemisahan kekayaan lewat perjanjian perkawinan menurut pasal 29 ayat (1) UUP disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat para pihak dan pihak ketiga terhitung tanggal mulai dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat perkawinan (pasal 29 ayat (3) UUP dan pasal 50 ayat (1) KHI)
Isi perjanjian tak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali ada persetujuan kedua pihak untuk merubah dan tak merugikan pihak ketiga (pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan)


5. Jika Perjanjian Dilanggar

Jika terjadi pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perjanjian perkawinan, istri berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama (pasal 51 KHI).


6. Dapatkah Pemisahan Kekayaan Diakhiri?

Permasalahan yang sering dihadapi perempuan ketika mengajukan gugatan harta bersama dan cara mengatasinya

1. Harta yang diperoleh dalam perkawinan biasanya dibeli atas nama suami dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta pun disimpan oleh suami.

Solusi: Walaupun harta atas nama suami, hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang harus Anda lakukan adalah membuat foto kopi setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama.
2. Sering kali isteri tidak tahu bahwa pembuktian merupakan hal penting dalam berperkara untuk dapat memperoleh hak atas harta bersama.

Solusi: Jika Anda ingin mengajukan gugatan cerai dan harta bersama, sebaiknya Anda mengumpulkan semua bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta bersama seperti sertifikat kepemilikan rumah, tanah, mobil dan kekayaan keluarga lainnya. Ini penting agar pada saat menggugat harta bersama isteri tidak mengalami kesulitan pada tahap pembuktian.
Apabila suami tidak mempunyai itikad baik untuk membagi harta bersama, sebaiknya jangan memberitahu suami kalau Anda berniat untuk mengajukan gugatan cerai dan harta bersama karena membuka kemungkinan suami "mengamankan" atau menyembunyikan dokumen-dokumen tersebut.

3. Jika Anda belum juga memiliki dokumen-dokumen yang diperlukan padahal Anda sudah ingin mengajukan gugat cerai, maka Anda mesti secepat mungkin menguasai secara fisik harta benda atau kekayaan yang bisa Anda kuasai. Hal ini penting dilakukan sebagai strategi agar pihak suami yang mengajukan gugatan harta bersama sehingga beban pembuktian ada di pihak suami.

Upaya yang dapat ditempuh jika suami menguasai harta bersama

Jika Suami tidak mau memberikan bagian harta bersama, berikut hal-hal yang dapat dilakukan oleh pihak isteri :

1. Melakukan upaya musyawarah atau mediasi dengan pihak suami untuk mencari titik temu dan membuat kesepakatan.

Dalam melakukan musyawarah dengan pihak suami, pihak isteri harus memperhitungkan biaya kehidupannya dan anak-anak serta kemampuannya untuk menanggung biaya-biaya atau pengeluaran dikemudian hari. Meskipun Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda tetap dapat melakukan musyawah mengenai besarnya pembagian harta bersama yang Anda terima yang akan dituangkan dalam perjanjian atau kesepakatan bersama. Jika selama perkawinan isteri tidak bekerja, dilarang bekerja, memiliki ketergantungan secara ekonomi pada suaminya maka isteri sebaiknya mengupayakan mendapat lebih dari separoh (seperdua) harta bersama atau sedikitnya separoh harta bersama. Dalam kondisi pihak isteri menanggung beban biaya menghidupi anak-anak, isteri mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isteri bekerja sebagai pencari nafkah utama atau harta kekayaan diperoleh dari jerih payah isteri maka pihak isteri sangat dianjurkan untuk mengupayakan mendapat bagian lebih besar dari separoh harta bersama.

2. Tetap mempertahankan harta bagiannya dari harta bersama meskipun pihak suami melakukan teror dan intimidasi dan secepat mungkin mengajukan gugatan pembagian harta bersama.

3. Jika terjadi kekerasan atau ancaman kekerasan dari pihak suami, maka isteri harus secepat mungkin melaporkan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dialami ke kantor polisi terdekat.
Bagaimana jika pihak suami tidak mematuhi putusan Pengadilan tentang pembagian Harta bersama? Upaya yang dapat Anda dapat tempuh adalah:

1. Melakukan upaya musyarawah dengan pihak suami dan jika diperlukan melibatkan pihak keluarga suami atau isteri dalam musyawarah tersebut;

2. Mengajukan upaya eksekusi putusan harta bersama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ke Pengadilan yang berwenang.

Hak Asuh Anak Dalam Perceraian

Selain terhadap harta pekawinan, sebuah perceraian dari perkawinan yang berdasarkan hukum juga memberi akibat terhadap anak, yaitu siapa yang memegang hak asuh anak (hadhanah) setelah kedua orang tuanya bercerai. Dalam banyak kasus perceraian, persoalan hak asuh anak merupakan masalah yang sering menjadi pangkal sengketa diantara suami-istri yang bercerai.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriah semata, melainkan juga kedekatan batiniah.
Hak asuh anak oleh ibunya dapat digantikan oleh kerabat terdekat jika ibunya telah meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam telah menentukan, bahwa jika ibu si anak meninggal, maka mereka yang dapat menggantikan kedudukan ibu terhadap hak asuh anaknya meliputi:
  1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
  2. Ayah.
  3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
  4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
  5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Namun meskipun pada prinsipnya hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya, Kompilasi Hukum Islam masih memberi kesempatan kepada si anak untuk memilih ikut ayah atau ibunya. Pilihan itu diberikan kepada anak yang telah mumayyiz, yaitu seorang anak yang telah berumur 12 tahun. Seorang anak yang telah berumur 12 tahun oleh hukum dianggap telah dapat menentukan pilihannya sendiri ketika kedua orang tuanya bercerai, yaitu mengikuti ayah atau ibunya.
Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya, harus disertai oleh jaminan keselamatan jasmani dan rohani si anak meskipun biaya kehidupan si anak telah tercukupi.  Apabila pemegang hak asuh anak, baik ayah maupun ibunya, ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan dapat meminta kepada Pengadilan Agama untuk memindahkan hak asuh anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh.
Siapapun yang memegang hak asuh kemudian, semua biaya hak asuh dan nafkah anak merupakan tanggung jawab ayahnya. Tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya, dan berlangsung sampai anak tersebut dewasa (21 tahun). (legalakses.com).

Persiapan Menghadapi Sidang Kasus Perceraian


Jika anda akan menghadapi sidang untuk kasus perceraian, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama, ada beberapa hal yang perlu anda ketahui.

1. Mendapatkan nasehat hukum
Jika anda tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hukum, ada baiknya anda meminta nasehat hukum dari seorang pengacara, konsultan hukum atau orang yang sudah berpengalaman. Jangan menganggap remeh persoalan yang anda hadapi, meskipun kasus yang anda hadapi tidak terlalu rumit,  karena konsekuensi hukum yang anda hadapi nantinya mengikat dan bersifat memaksa. Oleh karena itu, jangan menunda sampai saat-saat terakhir putusan hakim akan dijatuhkan atau saat posisi anda sudah terjepit.  

2. Beberapa hal yang penting untuk ditanyakan
Banyak hal yang dapat anda tanyakan kepada pihak-pihak yang lebih mengetahui tentang proses hukum, antara lain tentang:
ö Hal-hal yang harus dipersiapkan  dalam sidang
ö Mendiskusikan tentang penyebab/alasan mengapa anda memutuskan bercerai dengan suami anda
ö Bila anda memakai jasa pengacara (kuasa hukum) di pengadilan, apakah hal itu akan berpengaruh pada putusan hakim?
ö Biaya yang harus dikeluarkan, jika anda memakai jasa pengacara (kuasa hukum)
ö Garis besar proses hukum yang akan anda hadapi di pengadilan
ö Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses hukum kasus yang anda hadapi
Sebelum meminta nasehat hukum, sebaiknya anda menyiapkan terlebih dulu surat-surat penting mengenai kasus anda (antara lain: surat nikah asli dan fotokopinya yang telah dibubuhi materai, fotokopi akta kelahiran anak yang dilegalisasi di kantor pos, fotokopi KTP, fotokopi Kartu Keluarga,dll). Biasanya kasus perceraian disertai pula dengan masalah pembagian harta gono-gini, sebaiknya anda juga menyiapkan surat-surat yang terkait dengan dengan harta benda perkawinan seperti akta jual-beli, sertifikat, kwitansi, bon jual-beli, surat bukti kepemilikan dan semacamnya. Hal ini untuk memudahkan anda dan penasehat hukum anda memahami persoalan hukum yang sedang anda hadapi. Setelah anda memahami persoalan anda, diharapkan anda sudah dapat mengambil keputusan apakah akan meminta bantuan pengacara atau kuasa hukum sebagai wakil anda di pengadilan.

3. Dimana anda bisa mendapatkan nasehat & bantuan hukum?
Anda dapat meminta nasehat hukum dari seorang konsultan hukum atau pengacara, dengan kebebasan memilih untuk didampingi dalam sidang pengadilan nanti.
4. Yang harus anda siapkan sebelum ke pengadilan
Bila didampingi Pengacara
ö  Jika anda memilih untuk didampingi pengacara, terlebih dulu pengacara anda membuat Surat Kuasa yang harus anda tandatangani. Surat Kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa anda (sebagai pemberi kuasa) memberikan kuasa kepada pengacara anda (sebagai penerima kuasa) untuk  mewakili anda dalam pengurusan kasus anda, mulai dari pembuatan surat-surat seperti surat dakwaan, beracara di muka sidang pengadilan, menghadap institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan kasus anda, meminta salinan putusan pengadilan dan sebagainya.
ö  Menyiapkan Surat Gugatan. Bila anda sudah menandatangani Surat Kuasa, maka selanjutnya pengacara (kuasa hukum) andalah yang akan mengurus pembuatan Surat Gugatan dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan selama proses hukum berjalan.
ö  Siapkan uang administrasi .Usai membayar, anda akan menerima SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar).
ö  Siapkan uang untuk pembayaran pengacara anda bila pengacara yang anda minta bantuannya adalah pengacara yang dibayar.

Yang penting juga harus anda perhatikan:
ö  Persiapkan mental anda
ö  Usahakan tidak terlambat ke pengadilan karena dapat mempengaruhi jalannya sidang
ö  Berpakaian sopan dan rapi.

5.  Di ruang sidang pengadilan
a. Yang mungkin ditanyakan hakim
ö  Dalam sidang pertama, hakim biasanya akan melakukan upaya perdamaian. Di sidang ini hakim akan bertanya apakah kedua pihak yang bersengketa akan mengadakan perdamaian/tidak?
ö  Dalam proses pemeriksaan, hakim dapat menanyakan masalah-masalah yang terkait dengan gugatan, apakah ada keberatan dari para pihak/tidak?
ö  Sebelum putusan dijatuhkan hakim, hakim dapat bertanya apakah ada hal-hal lain yang ingin disampaikan para pihak? Misalnya hak untuk mengasuh anak di bawah umur atau menemui anak, jika sebelumnya mendapat halangan untuk bertemu.
b.   Siapa saja yang berhak hadir di persidangan?
ö  Hakim: yaitu orang yang memimpin jalannya sidang, memeriksa, dan memutuskan perkara
ö  Panitera:  yang bertugas mencatat jalannya persidangan
ö  Anda, sebagai pihak yang mengajukan gugatan, disebut Penggugat/Kuasa hukumnya
ö  Suami Anda, sebagai pihak yang digugat, disebut Tergugat/Kuasa hukumnya

6.   Apa hak anda sebagai Penggugat?
ö  Didampingi pengacara sebagai kuasa hukum di pengadilan
ö  Bertanya dan menjawab mengenai perkembangan kasusnya baik kepada kuasa hukumnya, maupun kepada hakim
ö  Mendapat salinan surat keputusan pengadilan (dapat melalui kuasa hukumnya)
ö  Mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa dibedakan berdasarkan suku, agama, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik atau status sosialnya

7. Berapa lama proses berlangsung?
a. Pengadilan Tingkat Pertama (di PN atau PA)
Sidang biasanya dilakukan lebih dari 6 (enam) kali, namun ada juga yang kurang dari itu. Jangka waktu yang dibutuhkan maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pengadilan pertama (PN atau PA).
b. Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi (di PT dan Mahkamah Agung)
Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu perkara hingga tingkat banding dan kasasi berbeda-beda. Namun secara umum hingga awal proses pengadilan tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung bisa memakan waktu 3-5 tahun.

Pentingnya PENCATATAN PERKAWINAN

1. DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
2. PENCATATAN BAGI PENGANUT KEPERCAYAAN
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.

Perbuatan KCS ini jelas bertentangan dengan keputusan-keputusan yang telah ada dan bertentangan pula dengan pasal 16 ayat 2 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984 yang intinya menyatakan kewajiban bagi negara peserta, termasuk Indonesia, menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
3. AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut. 



4. SAHNYA PERKAWINAN
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.

Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
5. PENGESAHAN PERKAWINAN
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.

Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian. Selain itu proses yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama.

6. CATATKAN PERKAWINAN ANDA
Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak Anda, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak Anda. Jadi sebaiknya, sebelum Anda memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri’), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat Anda kesulitan ketika menuntut hak-hak Anda.

Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Hukum Perkawinan di Indonesia

PERJANJIAN PERKAWINAN

UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)  Pasal 29 mengatur tentang Perjanjian Perkawinan


1. PENTINGNYA PERJANJIAN PERKAWINAN
 
 
 
Tidak banyak orang tahu bahwa pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami atau isteri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Padahal perjanjian perkawinan sangat penting untuk melindungi dan memperjelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, baik selama perkawinan berlangsung maupun akibat-akibat hukum setelah perkawinan putus karena perceraian atau kematian. Dengan adanya perjanjian perkawinan akan menjamin hak dan kewajiban Anda.


2. KAPAN PERJANJIAN PERKAWINAN DIBUAT?

Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian tersebut dibuat secara tertulis oleh kedua calon pengantin atas persetujuan bersama. Isinya bisa berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang kepentingan pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian ini berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.


3. KEPADA SIAPA PERJANJIAN DISAHKAN?

Perjanjian perkawinan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya yang diakui oleh negara.


4. ISI PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).

Begitu juga yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian dengan pihak Bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama.


5. BISAKAH PERJANJIAN PERKAWINAN DI UBAH ?

Perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, dan selama perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Jadi jelas, perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika ada kesepakatan kedua belah pihak. Bila keinginan untuk merubah itu datang hanya dari satu pihak, dan satu pihak lainnya tidak setuju, maka perubahan tidak sah yang berarti perjanjian yang telah disepakati, belum/tidak mengalami perubahan.


6. PERJANJIAN TAKLIK TALAK

Perjanjian taklik talak adalah perjanjian yang diikrarkan suami (penganut agama Islam) pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Taklik Talak ini terdapat dalam kutipan Akta Nikah dan dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Taklik Talak berisi ketentuan bahwa jika sewaktu-waktu suami Anda:
(1) meninggalkan Anda dua tahun berturut-turut
(2) tidak memberi nafkah wajib kepada Anda tiga bulan lamanya
(3) menyakiti badan/jasmani Anda
(4) membiarkan (tidak mempedulikan) Anda enam bulan lamanya

maka jika Anda, sebagai isteri tidak ridla (ikhlas) dan mengadukannya ke Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, kemudian Anda juga membayar uang sebesar Rp.50,- sebagai iwadl (pengganti) kepada suami, maka jatuhlah talak satu suami kepada Anda.


7. SAMAKAH PERJANJIAN PERKAWINAN DENGAN TAKLIK TALAK ?

Pada dasarnya, perjanjian kawin sama dengan taklik talak. Bedanya, perjanjian kawin bisa dirubah sesuai dengan kehendak kedua belah pihak, sedangkan perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Perbedaan lainnya adalah, isi perjanjian kawin dapat meliputi hal apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dan tidak merupakan syarat putusnya talak/cerai. Sementara perjanjian taklik talak, selain hanya berisi hal-hal tertentu, juga merupakan syarat jatuhnya talak jika perjanjian tersebut sudah diucapkan tetapi kemudian tidak dilaksanakan.


8. DAPATKAH PERJANJIAN PERKAWINAN DITUANGKAN DALAM TAKLIK TALAK ?

Taklik talak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan secara baku dalam akta nikah. Sementara perjanjian perkawinan dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak (calon suami dan isteri). Oleh sebab itu, jika apa yang ada dalam taklik talak dirasa kurang, maka Anda dapat mencantumkannya secara tersendiri dalam perjanjian yang lain, yaitu perjanjian perkawinan.


9. BILAMANA PERJANJIAN DILANGGAR

Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan, bahwa jika perjanjian perkawinan atau Taklik Talak dilanggar, maka Anda berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Hubungan Perkawinan Dini dan Tingginya Kasus Perceraian

Perkawinan adalah jalan yang menghalalkan hubungan antara 2 jenis kelamin laki - laki dan perempuan dan memberikan tempat terhormat di mata masyarakat. Sistem hidup ini jelas diterangkan dalam Al Qur'an dan Rasul juga menekan bahwa barang siapa mengaku umatnya maka harus mengikuti sunnahnya yaitu salah satunya adalah menikah.
Di Indonesia undang - undang perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 6 ayat 2 dan pasal 7 ayat 1 mengatur batasan kawin 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk lelaki. Namun diluar semua itu banyak muncul peristiwa yang ada kaitan dengan pernikahan ini yaitu pernikahan di usia muda yang dikenal dengan pernikahan dini. Dimana suami istri sebenarnya belum matang jiwa raga untuk melangsungkan sebuah kehidupan berumah tangga. Akibatnya banyak persoalan hidup yang tidak bisa teratasi sehingga banyak perselisihan dan percekcokan yang muaranya kepada perceraian.
Dalam Islam persoalan cerai termasuk dalam kategori halal akan tetapi merupakan hal yang dibenci oleh Allah. Apabila hal ini memang harus dilakukan tentunya harus mengikuti prosedur tertentu, tidak bisa dilakukan hanya berdasar emosi yang ujungnya adalah penyesalan.
Pernikahan dini tidaklah disebutkan kategorinya dalam Islam, selama perempuan sudah haid maka mulailah masanya boleh untuk dinikah. Akan tetapi dengan melihat banyak faktor mengenai kesehatan ibu, anak, dan pembinaan rumah tangga maka pertimbangannya tidak lagi antara boleh dan tidak tetapi lebih menjurus kepada bagaimana tingkat kemanfaatan menikah di usia dini.
Apabila dari segi kemanfaatanya lebih tinggi maka segera laksanakanlah.
Kemudian untuk mengatasi banyaknya masalah dalam berumah tangga tentunya yang harus dipahami adalah menikah adalah tanggung jawab bersama. Artinya orang tua harusnya menjadi penengah dan memberi nasehat pasangan untuk mengambil keputusan - keputusan yang tepat. Orang tua tidak boleh berpihak ke salah satu pihak yang biasanya malah memperburuk masalah.
Selain menjadi penengah orang tua perlu berperan membantu apa-apa yang sekiranya kurang misalnya dalam hal kedewasaan, ekonomi, hubungan sosial karena hidup tidak hanya bergantung kepada hal - hal yang bersifat material akan tetapi bagaimana tumbuh, berkembang, dan survive dalam menjalani masa pernikahan juga merupakan modal penting menuju suksesnya pernikahan, khususnya dalam hal ini adalah pernikahan dini.

TATA CARA MENGAJUKAN GUGAT CERAI MENURUT UU PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974

Menurut Pasal 14 UU Perkawinan seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan (Pasal 19 disebutkan dibawah) dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Disamping itu pasal 19 menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok; pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 20 (1), (2), (3) UU Perkawinan).
Jika gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya maka diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan tersebut dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21).
Dalam hal gugatan karena alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga maka gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu (Pasal 22).
Menurut Pasal 23 UU Perkawinan gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugatan cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang mengatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Mengenai gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Gugatan diajukan dengan alasan yang sama maka tidak akan diterima oleh Pengadilan.
Jika gugatan akan diajukan kembali maka harus dengan alasan-alasan yang berbeda dengan alasan yang sebelumnya.